Sebelum membaca tuntas artikel smart farming ini, disclaimer bahwa semua yang tertulis di sini adalah opini meskipun sebagian berisi fakta. Disclaimer kedua, bahwa tulisan ini ditulis pada Bulan September 2023 yang mungkin saja dan semoga akan berbeda kondisinya di masa mendatang.
Apa itu Smart Farming?
Smart Farming adalah sebuah teknologi modern yang berfungsi untuk mengumpulkan, memproses data sehingga menjadi sebuah informasi. Kata Farming sendiri identik dengan usaha tani, meskipun sebenarnya lingkup dari farming menjadi meluas dalam arti smart farming ini. Hal ini dikarenakan dalam beberapa sumber menjelaskan bahwa smart farming juga digunakan dalam bidang marketing komoditas yang notabene sudah di luar dari lingkup farming/usaha tani.
Smart farming sendiri merupakan bagian dari precision agriculture atau pertanian presisi. Pertanian presisi merupakan sistem yang berorientasi kepada low input, efisiensi tinggi dan berkelanjutan. Smart farming merupakan alat untuk mencapai precision agriculture tersebut.
Sekilas memang smart farming ini berguna untuk efisiensi dan bisa menekan biaya produksi. Hasil akhir yang diharapkan bahwa pendapatan petani akan meningkat. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang sosial dan ekonomi, sepertinya perlu dipertimbangkan lagi penggunaan smart farming ini; berikut alasan mengapa saya mengatakan demikian, setidaknya untuk kondisi saat ini:
Tenaga Kerja Pertanian di Indonesia Masih Murah
Kondisi upah tenaga kerja pertanian di Indonesia dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Perkembangan upah tenaga kerja hanya sekitar 0.22% dalam setahun, sementara inflasi atau kenaikan harga secara umum adalah sekitar 3 persen di tahun yang sama. Indikator kesejahteraan petani biasanya dituangkan dalam Nilai Tukar Petani, yakni suatu kondisi di mana harga yang diterima petani (saat menjual komoditasnya) berbanding dengan harga yang dikeluarkan petani (saat membeli kebutuhan dasar secara umum). Jika NTP di atas 100 persen, menandakan bahwa bargaining petani lebih besar karena petani memiliki indeks harga yang diterima lebih besar.
Pertanyaannya, untuk siapa indeks NTP dan untuk siapa Upah Buruh? Jika kita perhatikan rumus NTP, tentu NTP dinikmati oleh petani yang memiliki komoditas karena dia menerima harga dari komoditas yang dijual. Sedangkan petani yang bekerja sebagai buruh tani, tidak menikmati NTP melainkan menikmati upah buruh. Dalam gambar yang sama di atas, saya berusaha mencari jumlah petani yang memiliki komoditas dan jumlah petani yang menjadi buruh. Hasilnya petani yang memiliki lahan sendiri sekitar 16.94 juta (48%), sedangkan buruh 18.3 juta (51.9%).
Lalu apa hubungannya dengan smart farming? Secara umum, smart farming hadir karena kesulitan mencari tenaga kerja. Artinya smart farming menggantikan tenaga kerja. Hal ini terbukti dengan teknologi irigasi secara otomatis, spraying pemupukan dan pengendalian hama juga secara otomatis. Siapa yang tergantikan? Tenaga kerja.
Namun, jika melihat realita bahwa tenaga kerja pertanian di Indonesia masih relatif murah, artinya opportunity cost smart farming ini rendah yang menimbulkan adanya biaya tinggi atau investasi yang tinggi jika tetap menerapkan smart farming. Ini bisa dikonfirm dari kajian ekonomi atau usahatani (MBCR) penggunaan smart farming. Jika pembandingnya adalah upah HOK, pastinya tidak efisien.
Lalu, mengapa smart farming masih bisa dikembangkan?
Efek Sosial Smart Farming dari Sisi Hilir
Berbeda di sisi onfarm, pada sisi hilir atau pemasara, smart farming cukup menjaanjikan. Beberapa komoditas dalam subsektor hortikultura memiliki Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) yang besar. MPP merupakan selisih harga yang diterima penjual dan harga yang harus dibayarkan penjual kepada petani.
Misalkan pada komoditas bawang merah, jika petani menerapkan smart farming dan bisa menarik pasar langsung mengakses di kebunnya, maka dia akan memperoleh 47.39 tambahan value, yang seharusnya value tersebut diterima oleh pedagang kecil dan pengumpul.
Selain MPP jika diperhatikan dengan seksama, B/C ratio komoditas hortikultura juga memiliki nilai yang tinggi, di atas 2 bahkan bisa mencapai 4 atau 5. Nilai tersebut yang bisa menutupi biaya tambahan dari kenaikan adopsi teknologi smart farming.
Namun, jika dilihat dari sisi sosial tenaga kerja kondisi ini kurang menguntungkan. Akan ada biaya sosial yang timbul. Pertama, dari sisi penggantian tenaga kerja oleh smart farming. Pertanian dikenal sebagai sektor yang menampung tenaga kerja yang keluar dari sektor lain pada saat terjadi guncangan ekonomi. Hal ini terbukti saat terjadi krisis moneter baik tahun 1998 maupun 2008. Tenaga kerja masuk ke dalam sektor pertanian tanpa syarat karena pertanian tidak mensyaratkan keterampilan khusus. Tapi, ketika smart farming ini diimplementasikan, maka simulasi yang terjadi bahwa tenaga kerja yang keluar dari sektor industri dan lainnya akan sulit masuk ke dalam sektor pertanian karena smart farming mensyaratkan kebutuhan atau keterampilan tertentu. Di sisi yang lain, kebutuhan tenaga kerja sudah tergantikan oleh smart farming.
Sisi marketing juga tidak kalah seru. Ketika smart farming benar-benar diterapkan dan terjadi pemutusan mata pasok, maka pedagang kecil dan pengumpul akan kehilangan pekerjaannya. Nilai uang akan langsung mengalir ke dalam pemilik pengusaha yang menerapkan smart farming. Ingat, bahwa perekonomian akan berjalan jika terjadi perputaran uang. Uang yang semestinya berputar di kawasan pertanian tersebut, selanjutnya hanya berputar di pemilik usaha saja. Ancamannya terjadi kesenjangan sosial.
Solusi Penerapan Smart Farming
Bagaimanapun smart farming merupakan teknologi masa depan yang lambat atau cepat akan digunakan. Hanya saja perlu penyesuaian penerapan smart farming di Indonesia. Indonesia memiliki kondisi sosial yang berbeda dibanding dengan negara Amerika. Ada satu penelitian yang menarik tentang perbedaan kondisi sosial tentang smart farming ini:
O’Shaughnessy dan kawan-kawan menerangkan adanya perbedaan mendasar antara petani Korea Selatan dan Amerika, yakni petani Amerika didominasi oleh petani yang memiliki lahan yang luas, sedangkan Korea Selatan memiliki petani yang sempit lahannya. Kondisi ini mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh kedua negara. Banyaknya petani yang memiliki lahan sempit akan menimbulkan biaya adopsi teknologi lebih besar. Sedangkan Amerika tidak membutuhkan regulasi yang mengatur penerapan smart farming karena petani bersaing secara sempurna (memiliki akses teknologi dan modal yang tinggi).
Singkat cerita, penerapan smart farming untuk negara yang memiliki petani lahan sempit tidak bisa disamakan dengan penerapan Amerika Serikat. Butuh regulasi yang mengatur di semua aspek mulai dari mencari teknologi yang sesuai dengan karakteristik lokal, mencari teknologi komunikasi yang reliable, kesiapan petani mengadopsi teknologi tersebut, sumber modal, model agribisnis, dan yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana kebijakan nasional tentang pasar, tenaga kerja dan lahan.
Materi diatas adalah beberapa kutipan yang saya sampaikan dalam seminar Horties Talks #12 yang direkam dalam video berikut. Paparan saya berikan di menit sekitar 1:18:00
bahan paparan bisa didownload disini:
Tinggalkan Balasan