Indikator Usahatani: Setiap analisis memiliki indikator yang mengarahkan peneliti kepada sebuah kesimpulan. Indikator memudahkan peneliti atau pengguna data membaca pola data dan mengembangkan langkah strategis yang harus dilakukan.
Dalam dunia usaha, kata untung menjadi sebuah ketertarikan pelaku untuk melanjutkan bisnis. Sekalipun bisnis dengan embel – embel non profit, tapi dalam prakteknya lembaga tersebut tidak bisa terus menerus dalam kerugian. Tentunya ada dana yang menopang lembaga tersebut untuk tetap eksis dalam memenuhi biaya operasionalnya.
Meskipun tidak serumit hitung – hitungan bisnis, usahatani juga memiliki indikator untuk menentukan keberlanjutan usahatani tersebut, baik dalam tanaman pangan, hortikultura, ataupun tanaman perkebunan. Indikator tersebut menjelaskan berapa persen yang diperoleh petani dalam pengembalian penggunaan sumberdaya yang digunakan baik tenaga kerja, modal, maupun lahan.
Dalam kenyataan, banyak kita jumpai petani mengeluh tidak menerima keuntungan yang tinggi. Namun, tanpa mereka sadari, dengan mengusahakan sawah dan kebun serta ternak, mereka mampu menyekolahkan anaknya sampai jenjang perguruan tinggi. Meskipun petani pada umumnya memiliki lahan yang sempit dan lebih tepat dikatakan sebagai buruh tani ketimbang kata petani itu sendiri.
Pada artikel sebelumnya, tentang komponen usahatani, bahwa usahatani pada analisisnya terdiri dari biaya dan penerimaan. Kedua komponen ini yang membentuk indikator usahatani ini, yakni:
Revenue Cost Ratio atau RC Ratio
Merupakan sebuah nilai yang diperoleh dari pembagian antara penerimaan total dengan biaya usahatani. Nilai RC tidak mungkinn negatif karena penerimaan tidaklah mungkin negatif. Jadi nilai RC selalu positif meskipun nantinya penerimaan tersebut ternyata tidak mampu menutupi biaya usahatani.
Nilai RC ratio yang lebih kecil dari pada 1 mengartikan bahwa penerimaan lebih kecil dari biaya. Misalnya nilai RC ratio sama dengan 0.18, arti dari nilai tersebut adalah setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan oleh petani, akan menghasilkan penerimaan sebesar 0.18. artinya bahwa nilai RC yang sama dengan 1 berarti penerimaan yang diterima hanya mampu menutupi biaya yang dikeluarkan.
Sebaliknya jika nilai RC melebihi 1, usahatani yang dihasilkan memiliki keuntungan. Misalnya nilai RC ratio sebesar 1.25, artinya bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan 1.25 rupiah (penerimaan).
Benefit Cost Ratio
Sesuai dengan istilahya, benefit cost ratio merupakan perbandingan antara benfit dengan cost dari usahatani. Nilai BC ratio bisa bernilai negatif atau positif. BC yang bernilai negatif artinya bahwa usahatani mengalami kerugian secara ekonomi. Sebaliknya, BC ratio yang positif menandakan bahwa usahatani menguntungkan.
Besarnya nilai BC ratio secara langsung dapat dibandingkan dengan tingkat suku bunga. Misalnya, BC ratio yang dihasilkan adalah 0.8; artinya bahwa setiap satu rupiah yang dikeluarkan dapat memberikan keuntungan sebesar 0.8 rupiah, atau mendapat bunga pengembalian sebesar 80 persen. Tentu nilai ini sangat besar jika dibandingkan dengan bunga bank yang hanya memberikan sekitar 10 persen saja.
Jangan keliru dengan pengertian BC ratio, sebagian berpendapat bahwa BC ratio harus diatas 1. Padahal, benefit atau pendapatan merupakan penerimaan dikurangi biaya total. Sehingga nilainya sebenarnya perlu dibandingkan dengan bunga bank setempat.
Mengapa dibandingkan dengan bunga bank? Karena bunga bank merupakan sebuah patokan investasi uang yang disimpan dalam bank. Istilah mudahnya, daripada mengusahakan usahatani dengan segala kerumitannya, lebih baik uang tersbeut disimpan ddidalam bank dan mendapat pengembalian sebesar bunga bank tersebut. Artinya, jika nilai BC ratio sudah lebih besar dibandingkan bunga bank tersebut, usahatani dikatakan memiliki tingkat pengembalian yang lebih besar dan layak dilanjutkan.
Marginal Benefit Cost Ratio
Merupakan sebuah indikator terhadap perlakuan partial biaya terhadap penerimaan. Rumus MBCR = (penerimaan perlakuan 1 – penerimaan perlakuan 2) / (biaya perlakuan 1 – biaya perlakuan 2).
Sebagai ilustrasi saya berikan contoh:
Pak udin memiliki sawah 1 hektar. dengan luas sawah tersebut pak Udin biasanya mengeluarkan biaya Rp 5.000.000 dengan penerimaan sebesar Rp. 8.000.000. Pada musim ini, datang seorang penyuluh dan merekomendasikan ke Pak udin sebuah pupuk A. dengan tambahan tersebut pak Udin mengeluarkan tambahan biaya Rp. 500.000, dan penerimaan pak Udin Meningkat menjadi Rp. 8.800.000. apakah tambahan teknologi tersebut menguntungkan pak Udin?
MBCR = (Rp. 8.800.000 – Rp 8.000.000) / (Rp. 5.500.000 – Rp. 5.000.000)
MBCR = 800.000 / 500.000
MBCR = 1.6
Arti dari nilai diatas adalah, setiap tambahan 1 rupiah biaya, akan menghasilkan tambahan penerimaan 1.6 rupiah. Nilai MBCR akan menguntungkan jika bernilai lebih besar dari 1. Pada contoh diatas, pak udin mengeluarkan tambahan biaya 500.000 dan memperoleh tambahan benefit atau keuntungan 300.000. ingat, tiga ratus ribu ini adalah keuntungan, bukan penerimaan. Bisa dikatakan penerimaan yang diperoleh dari tambahan biaya ini adalah 800 ribu, sehingga dikurangi biaya tambahan 500 ribu dan menghasilkan keuntungan tambahan 300 ribu. Perhatikan bedanya ya…
MBCR biasanya membantu petani menganalisis usahatani dengan dua kondisi yang berbeda. Misalnya kondisi eksisiting dengan kondisi intrusi teknologi seperti yang dicontohkan diatas. Meskipun akan terlihat juga di nilai BC dan RC ratio, menghitung MBCR akan lebih simple. Dengan asumsi semua sama, cateris paribus, petani hanya membandingkan tambahan biaya akibat intrusi teknologi, dengan perubahan pendapatan yang ia peroleh. Cukup simple.
Kedua, MBCR bisa digunakan dalam analisis parsial usahatani perkebunan. Karena biasanya umur tanaman perkebunan itu tahunan, maka tidak mungkin menunggu sampai panen terakhir dan kemudian menganalisa usahataninya. Biasanya panen dibandingkan antara tahun sebelumnya dengan tahun sekarang dengan penggunaan teknologi yang berbeda. Sehingga dengan analisis mbcr ini bisa dilihat kefektifan teknologi yang ditambahkan.
Selamat Belajar!