Perjanjian kerjasama merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengurangi resiko dalam berusaha. Kerjasama hampir mirip dengan kolaborasi, namun perjanjian kerjasama setidaknya memiliki kesepakatan hitam di atas putih yang menerangkan apa yang menjadi tanggung jawab kedua pihak.
Akhir-akhir ini sedang muncul trend perjanjian kerjasama antara petani dan pihak swasta. Konsep ini sangat baik karena akan menguntungkan kedua belah pihak. Biasanya isi perjanjian tersebut secara garis besar perusahaan menyediakan saluran distribusi dan logistik, sehingga hasil panen petani memiliki kepastian dari sisi pemasok dan harga. Tentu ini sangat menguntungkan petani. Petani tidak lagi kuatir akan jatuhnya harga, misalnya bawang merah, saat terjadi panen yang melimpah.
Keuntungan diperoleh tidak hanya dari sisi petani, melainkan juga perusahaan. Perusahaan mendapatkan kepastian pasokan yang sesuai dengan standar yang ditetapkan sehingga ekspansi pasar dapat mereka lakukan. Tanpa ada perjanjian kerjasama dengan petani, bagian purchasing akan pusing mendapatkan barang yang serupa di pasar tradisional ataupun supermarket. Kualitas dan varietas yang dijumpai bisa sangat beragam. Hal ini akan mempengaruhi kualitias produk merek di pasaran.
Tapi, artikel ini akan membahas lebih spesifik mengenai apakah perjanjian kerjasama tersebut memanglah menguntungkan kedua belah pihak secara ekonomi? Apakah perjanjian kerjasama atau kontrak meningkatkan kesejahteraan petani.
Evaluasi perjanjian kerjasama petani
Teori yang digunakan dalam artikel ini sangat sederhana, yakni analisis usahatani yang sudah sangat sering terdengar dan diajarkan kepada mahasiswa. Setidaknya terdapat dua aspek yang akan dihitung pada analisis usahatani, yakni aspek penerimaan dan aspek biaya. Aspek biaya biasanya terdiri dari biaya sewa lahan, biaya pengolahan lahan, biaya tenaga kerja, biaya input (pupuk, pestisida).
Sedangkan pada aspek penerimaan biasanya masih satu output yakni hasil panen. Hasil panen tersebut selanjutnya dikalikan dengan harga jual.
Akuntansi versus ekonomi
Perlu diingat, bahwa analisis ekonomi berbeda dengan ilmu akuntansi. Ilmu akuntansi menghitung aliran uang, sehingga tidak akan terhitung sebagai biaya atau pemasukan jika uang tidak diterima. Ekonomi berbeda cara pandangnya. Meskipun tidka berbentuk, nilai tersebut tetap dihitung sebagai biaya atau penerimaan, biasa dikenal sebagai opportunity cost.
Contohnya pada analisis usahatani. Petani yang mengerjakan sawahnya sendiri, sebenarnya petani tersebut sedang mempekerjakan dirinya ataupun anggota keluarganya yang membantu. Namun HOK dirinya dan keluarganya tidak dibayarkan secara cash. Namun, jika petani tersbeut harus mempekerjakan orang lain untuk mengerjakan sawahnya, maka nilai yang dikeluarkan tersebut merupakan opportunity cost. Akuntansi tidak memperhitungkan ini, tapi ekonomi akan mencatat sebagai pengeluaran atau biaya.
Contoh lain yakni kepemilikian lahan yang berimbas kepada sewa lahan yang gratis. Alasannya petani mengerjakan di lahan sendri, sehingga tidak ada biaya sewa yang harus dikeluarkan. Padahal, nilai sewa lahan akan dikeluarkan jika petani meminjam lahan miliki orang lain, inilah nilai opportunity cost yang terhitung sebagai biaya.
Lalu mengapa upah tenaga kerja keluarga dan sewa lahan tidak dihitung sebagai penerimaan juga? Pada sisi usahatani, nilai penerimaan sudah masuk keseluruhnya dalam output dikalikan harga. Penerimaan dalam bentuk panen itulah yang kemudian seharusnya dipotong untuk biaya tenaga kerja (meskipun tenaga kerja keluarga), dan sewa lahan. Oleh sebab itu dua contoh diatas dihitung sebagai biaya.
Contoh perjanjian kerjasama petani dan perusahaan
Kembali pada topik tulisan ini, mengenai kerjasama petani dan perusahaan swasta. Mari kita evaluasi masing masing aspek; penerimaan dan biaya sebelum petani bekerja sama dan sesudah petani bekerjasama.
Agar tidak terjadi perbedaan persepsi, kita bahas kerjasama petani pada contoh berikut (ini hanya contoh perjanjian kerjasama saja):
Perusahaan xxx dan petani kelompok tani sukamakmur menandatangi kontrak kerjasama produksi bawang putih seluas 100 hektar. Luas lahan tersebut miliki petani sukamakmur yang selanjutnya akan digunakan untuk menanam bawang putih oleh perusahaan xxx. Perusahaan xxx menyediakan seluruh sarana produksi baik peralatan dan perlengkapan, pupuk, pestisida, benih, saluran air, traktor, dll. Petani menyediakan tenaga kerja yang akan dibayar Rp. 50.000 perhari. Hasil panen akan dibeli oleh perusahaan xxx dengan kriteria; grade A seharga Rp 25.000 /kg; grade B Rp 20.000 /kg, dan grade C Rp. 10.000 /kg.
Mari kita bahas apa yang diterima petani sebelum dan sesudah kerjasama. Sebelum perjanjian, petani kesulitan saprodi karena harus mengupayakan sendiri. Biaya tenaga kerja juga tidak dibayar karena menggunakan tenaga kerja keluarga. Sedangkan setelah terlibat dalam kerjasama, saprodi datang dengan gratis, biaya tenaga kerja dibayar tunia tiap hari. Panen sudah ada yang beli dan menyerap seluruhnya meskipun harganya dibawah harga pasar. Pernah dalam kesempatan wawancara, saya menemukan petani mengatakan “yang penting ada uang sehari hari dari bekerja di kebun sendiri”. Yang dimaksud bapak ini adalah HOK yang dibayarkan perhari.
Kita bahas secara analisis usahatani. Apakah proporsi atau pendapatan ekonomi petani tersebut berubah? Jika menjawab dari sisi akuntansi maka pasti bertambah baik. Tapi jika melihat dari sisi ekonomi jawabannya adalah sama saja. Kenaikan yang terjadi adalah akibat produktivitas yang akan dibahas kemudian. Kenapa sama saja? Saya ralat, justru cenderung kurang menguntungkan. Perhatikan tabel berikut:
Pada kondisi sebelum kerjasama, petani melakukan semua produksi dan komponen usahatani. Petani sebagai pemilik dan manager usahatani. Hanya saja hal tersebut tidak dalam bentuk tunai seperti yang dijelaskan diatas. Setelah melakukan kerjasama, biaya sewa tidak terhitung karena menjadi klausul perjanjian bahwa lokasi usahatani di lahan petani tanpa menyebutkan biaya sewanya. Biaya TK dan biaya input sebenarnya tidaklah gratis, namun sudah dikurangi dari penerimaan sehingga harga yang diterima lebih rendah dari harga pasar. Jika kita melihat dari sisi akuntansi, maka seolah olah petani selalu mendapatkan uang cash harian dan ini memang dirasakan oleh petani kontrak. Namun, secara ekonomi sebenarnya terjadi pengurangan yang diterima semestinya yakni biaya sewa lahan.
Untuk lebih jelasnya, mari kita melihat dari sudut perusahaan. Khusus perusahaan, semuanya akan dinilai dari sisi akuntansi. Perusahaan komersial akan berpikir logis tentang efisiensi dan pertumbuhan. Analisis yang digunakan biasanya adalah kelayakan usaha yang memiliki durasi 5 atau 10 tahun, bukan analisis usahatani yang berdurasi hanya satu musim. Pada contoh diatas, sudah jelas perusahaan tidak perlu membayar sewa lahan. Komponen sewa lahan sebenarnya masuk ke dalam komponen investasi. Nilainya cukup tinggi karena memiliki jangka waktu yang panjang. Pengembalian dari investasi termasuk lahan akan dihitung dengan ROI (pengembalian investasi).
Selanjutnya komponen pupuk, pestisida, dan tenaga kerja diperoleh dari mana? Dengan atau tanpa kerjasama petani, komponen tersbeut tetaplah harus dikeluarkan oleh perusahaan. Hal ini sama persis kasusnya dengan petani sebagai manager atau pemilik sendiri. Hanya saja petani tidak benar benar mengeluarkan upah TK karena menggunakan TK keluarga. Sedangkan perusahaan harus mengeluarkan biaya tersebut karena termasuk biaya operasional. Bahkan dengan sistem kontrak, harga jual sudah ditetapkan untuk menyesuaikan kebutuhan pengeluaran input tersebut. jadi apakah perusahaan diuntungkan? Tentu, karena tidak membayar nilai sewa lahan sedangkan komponen lain tetap.
Produktivitas kunci keberhasilan
Nah, dalam hal ini sebenarnya yang membedakan adalah produktivitas. Produktivitas petani setelah terlibat kerjasama umumnya akan meningkat. SUDAH PASTI. Karena input dan penanganannya sudah standar. Sedangkan produktivitas petani sebelum kerjasama lebih kecil, karena petani tidak menggunakan teknik budidaya (dosis pemupukan, pestisida) sesuai standarnya.
Jangan buru-buru menyimpulkan bahwa kerjasama petani dan perusahaan menguntungkan karena meningkatkan produktivitas. Kondisi sebelum dan sesudah otomatis berbeda. Gunakan analisis marginal benefit cost ratio untuk membuktikan apakah kenaikan tersebut memang efektif diterima.
Untuk mencapai nilai produktivitas yang sama, diperlukan modal untuk bisa mengakses input baik itu benih, pupuk dan pestisida. Nah, bicara modal akan merembet ke kredit usaha yang tentunya tidak akan dibahas dalam artikel ini. Seandainya petani bisa mengakses modal dengan lebih baik dan memanfaatkannya seperti perusahaan menangani budidaya, tentu bukan hal mustahil produktivitas bisa ditingkatkan.
Disclaimer: Perjanjian kerjasama diatas hanya contoh dan tidak bersifat general. Inti yang mau disampaikan bahwa menganalisis usahatani jangan langsung memutuskan dari cash uang yang diterima dan produktivitasnya. Jika tertarik, silahkan bereksplorasi dan meneliti.
Terima Kasih