Enaknya menjadi peneliti

Enaknya menjadi peneliti. Tahun 2021 ini merupakan tahun yang bersejarah bagi peneliti karena pada tahun tersebut terbentuklah badan baru yang menaungi seluruh peneliti di Indonesia, Badan Riset Inovasi Nasional atau disingkat sebagai BRIN. Peneliti merupakan profesi yang sangat dekat dengan keilmuan. Kesehariannya berpikir tentang kebaruan dan mencari inovasi terhadap temuan yang ada.

Profesi peneliti hampir mirip dengan dosen karena dekat dengan keilmuannya. Bedanya, dosen diberi tugas dan tanggung jawab untuk menurunkan ilmu kepada mahasiswa, sedangkan peneliti bertugas meneliti dan mengembangkan ilmu. Sehingga terkadang peneliti bisa menjadi dosen karena pengalamannya menjadi peneliti, dan dosen juga bisa menjadi peneliti karena ilmu yang dimilikinya.

Satu hal yang menjadi momok bagi kebanyakan orang saat mendengar kata peneliti, yakni karya tulis ilmiah. Jenis tulisan yang menyerupai tesis, skripsi, disertasi yang dilakukan mahasiswa diakhir studinya, menjadi pekerjaan keseharian peneliti dan menjadi output tahunannya. Terkadang ada mahasiswa yang bertahun tahun tidak lulus karena malas mengerjakan skripsi, peneliti malah dituntut untuk mengeluarkannya setiap tahun. Karya tulis ilmiah merupakan salah satu indikator kinerja peneliti untuk dinilai dan dibayar tunjangannya. Tidak heran jika menjadi peneliti harus memiliki syarat kompetensi khusus untuk bidang ini, diluar kepakaran apakah peneliti itu ada di bidang eksakta ataupun sosial, itu beda lagi kesulitannya.

Mendengar kata karya tulis ilmiah tentu bisa dibayangkan keseharian peneliti yakni dominan introvert karena memikirkan data, olah data, analisis data, novelty tulisan, pengembangan, yang kesemua itu sangat cocok didalam ruangan dan didepan laptop. Sangat membosankan. Membayangkannya saja sudah malas bukan? Ternyata hal ini menjadi fakta yang tidak mengejutkan karena banyak peneliti di kementerian menolak bergabung di BRIN karena merasa tidak mampu memenuhi Hasil Kerja Minimal (HKM) yang didominasi oleh jumlah KTI baik tingkat nasional maupun internasional.

Hal itu cukup beralasan bukan? Bagaimana bisa menghasilkan karya tulis, jika duduk dari pagi sampai jam istirahat menghasilkan satu paragraf saja perlu lima kali bolak balik ruangan – kantin. Itu belum lagi diganggu dengan panggilan tugas dadakan yang seperti pesanan siap saji harus tersedia sebelum pukul 24.00. atau hape terus berdering oleh beberapa grup kegiatan ataupun arisan. Ini bukan jokes kawan. Penulis secara real memang mengalami kesulitan tersebut. Menulis karya tulis dari penelitian dengan mengubah nama tempat dan melakukan metode yang sama pastinya akan dicoret oleh reviewer yang menanyakan “mana novelty dari tulisan ini”, atau “tulisan ini sudah sering dijumpai”, atau yang lebih halus lagi “tulisan ini tidak sesuai dengan topik jurnal kami”.

Itu semua belum termasuk menjadi peneliti mandiri, mengerjakan kajian dengan kantong sendiri, atau mencari cari data sekunder untuk bisa disulap menjadi KTI agar HKM terpenuhi. Hal itu harus dilakukan karena kajian yang ada berdasarkan kebijakan top – down, atau kebutuhan program, bukan karena kebutuhan kebaruan sebagaimana ciri dari sebuah penelitian. Bayangkan saja jika program top – down tersebut ada disetiap provinsi, bisa dipastikan satu tahun atau dua tahun kedepan isi KTInya memiliki topik yang sama dari penjuru Indonesia. Jalan terbaik memang menggunakan dana pribadi, atau penelitian dalam kegiatan, atau data sekunder.

Meskipun menjadi peneliti itu sulit jika dilihat dari sudut pandang diatas, yang banyak digunakan hujjah (alasan) bagi peneliti yang tetap bertahan di kementeriannya, saya akan mengingatkan dari sisi yang lain agar bisa balance. Sisi ini jarang sekali diceritakan saat ngobrol karena lebih bersifat idealis dari seorang peneliti. Idealis? Zaman sekarang masih bicara idealis? Hahahahaha.. Biasanya mereka langsung mengelak karena alasan tukin peneliti paling besar diantara fungsional yang lain. Jadi jika beralih fungsional, imbasnya tukin mereka akan turun. Beralasan seperti itu sebenarnya hanya ingin menutup obrolan agar tidak dicap sebagai idealis.

Peneliti itu mampu melihat kebenaran

Pertama, menjadi peneliti mampu melihat kebenaran kebenaran. Slogan peneliti tidak boleh bohong tapi boleh salah sudah pasti tidak akan terdengar lagi di kementerian nantinya. Bagaimana bisa terdengar, penelitinya sudah pindah ke BRIN dan peneliti di kementerian sudah beralih ke fungsional yang lain. Sebenarnya melihat kebenaran bukan hanya melulu tentang jujur atau bohong saja. Peneliti bisa mengungkapkan kebenaran obsolut sehingga tidak bisa dibantah meskipun hanya ada didalam hatinya. Sedikit melenceng topik, kebenaran ada yang disebut kebenaran positif (kebenaran yang diyakini benar saat ini belum tentu benar di masa yang berbeda), kebenaran relatif (kebenaran yang masih mentolerasi kekeliruan termasuk dalam angka kepercayaan), kebenaran absolut (kebenaran mutlak).

Pada dasarnya pemilik kebenaran hanya Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa. Namun peneliti dengan kemampuan analisisnya bisa mengamati dan lebih mudah menemukan kebenaran alam yang sudah digariskan Tuhan TME sesuai bidangnya tentunya. Misalnya pakar padi akan memiliki kebenaran absolut dari hasil pengamatan yang dilakukannya. Padi akan selalu membutuhkan air, meskipun padi ada yang tahan terhadap lahan kering sekalipun. Maka suatu saat jika dia mendengar laporan hasil produktifitas dari suatu program yang bisa melampaui lahan sawah dua kali lipat, tentu dahinya akan bekernyit.

Lalu apa enaknya mengetahui secuil kebenaran? Secuil kebenaran tersebut bisa saja menjadi pintu koreksi terhadap suatu fenomena. Ujung ujungnya akan meningkatkan rasa syukur karena tidak termasuk dalam kelompok yang bodoh.

Peneliti bukan follower

Peneliti menjadi follower? Pasti tidak akan berkembang atau tidak akan bertahan. Menjadi peneliti harus memiliki novelty yang tercermin dari KTI yang dikeluarkan. Terbiasa melakukan ATM. Amati tiru dan modifikasi menyebabkan inovasi menjadi keseharian dari peneliti tersebut. Karena inovasi menjadi kebiasaan, tentu akan menjadi budaya kerja. Wajar jika peneliti bisa menjadi pemimpin karena peneliti memiliki visi dan inovasi.

Tapi gambaran peneliti yang introvert ga sepenuhnya benar lho…ada juga peneliti yang memiliki kepribadian ekstrovert dan mengenal sosialnya. Terutama peneliti sosial pastinya, dalam penelitian eksakta pun mereka harus terlatih didepan khalayak untuk mempresentasikan hasil penelitiannya. Jadi mereka introvert hanya saat bekerja mengolah data, mengkonsep, dan menulis kti. Karena mendapatkan ide bisa dimana saja. Kadang saat bermain bersama teman, kadang saat berada di kendaraan, kadang juga saat berwisata ke suatu daerah. Jadi, ga wajib sebenarnya peneliti menjadi introvert. Yang jelas peneliti punya misi yang harus diselesaikan dan bukan follower.

Peneliti itu bukan sekedar jabatan

Wew, yang ini agak abstrak keluar dari otak saya. Meskipun jelas jelas peneliti adalah sebuah jabatan, tetapi pengertian peneliti adalah orang yang melakukan kegiatan penelitian. Dalam konteks pembahasan saya sekarang adalah ruang lingkup kepenelitian. Yakni mencari hal yang baru secara scientifik, melakukan hipotesis, mencari jalan keluar, kemudian mengemukakan hasilnya lewat seminar dengan mengemukakan kebenaran penelitian.

Adapun jabatan yang diemban mulai dari peneliti pertama, muda, madya, utama adalah sebuah “measurement” atau pengukuran dari kegiatan aktivitas penelitiannya. Pengukuran adalah bukan segalanya. Mengutip teori GoodhartWhen a measure becomes a target, it ceases to be a good measure”.

Alat ukur yang saya maksudkan adalah HKM yang mereka takutkan. Padahal alat ukur akan mengikuti saat kita menciptakan iklim penelitian yang baik. Bahkan diluar sana terdapat aktivitas yang lebih seru dan HKM sebagai hadiahnya. Hadiah, bukan hasil utama. Hadiah ibarat bonus. Misal: ketika kita bekerja sama dengan eksternal instansi baik dalam negeri ataupun luar negeri. Jika KTI merupakan tujuan akhir dari kegiatan, amat disayangkan karena banyak hal yang bisa digali dari kerjasama tersebut.

Sebagai akhir dari catatan ini, saya akan memberikan desclaimer bahwa tulisan ini tidak ditujukan kepada siapapun. Saya pun tidak mengagungkan profesi peneliti. Semua profesi pasti bermanfaat. Tulisan ini hanya meluangkan curhatan dalam hati agar bisa curhat dengan topik yang lain. Selain itu, tulisan ini ditulis sembari menunggu pesawat di bandara dan kebetulan panggilan masuk pesawat sudah terdengar.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *