Menjadi peneliti visioner yang menemukan jalannya

Pernah kah kita membayangkan menjadi tokoh yang dianggap visioner di masa lalu? Apakah mereka sempat berpikir bahwa mereka akan menjadi panutan bangsa di masa kini dan masa mendatang? Saya rasa tidak. Begitu banyak masalah yang harus dihadapi sehingga mungkin hanya berpikir untuk bertahan di masa itu saja sudah sulit. Namun, cerita mereka menjalani semua masalah tersebut ternyata menginspirasi pemuda dan pemudi jauh di era mereka berjuang.

Saya sedikit takut memberikan contoh tokoh yang saya maksud di paragraf diatas. Saya bukan sejarawan yang tau secara detil tokoh pahlawan. Tapi yang sangat menginspirasi saya adalah sosok jenderal sudirman yang rela bergerilya masuk ke dalam hutan pada saat kondisi kesehatannya sedang tidak baik-baik saja. Kemudian tokoh Hoegeng, seorang polisi yang sangat berpegang teguh tidak mau disuap, hidup dengan penuh kesederhanaan meskipun godaan menerima penghasilan atas jasa dan relasinya pasti ada.

Jika membayangkan era sekarang, bisa saja sang jenderal berpendapat ”badan saya punya hak untuk istirahat”, namun sang jenderal punya keyakinan yang kuat bahwa dirinya tidak miliknya lagi, melainkan sudah menjadi simbol sebuah negara. Sebagai pemimpin pergerakan, tentu semangatnya akan mempengaruhi pejuang lainnya. Jika dirinya tertangkap, simbol pergerakan juga akan tertangkap dan artinya kekalahan bagi negara yang belum lama diproklamasikan.

Sang jenderal polisi pun bisa saja saat itu berkilah ”saya berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarga”. Mengambil sedikit suap dengan dalih itu hanya pemberian atau hadiah yang alasannya bisa saja mudah  disiapkan. Namun sang jenderal punya keteguhan yang kuat bahwa fungsi dan jabatan itu melekat 24 jam 7 hari dalam seminggu. Apapun jenis pemberian dianggap suap jika berhubungan atau pernah berhubungan dengan profesinya.

Saya hanya mengingat dua tokoh saja itu sudah membuat saya merinding saat menulis ini. Kondisi yang dialami keduanya sangatlah tidak mudah. Sebagai manusia biasa, besar kemungkinan saya akan menyerah dengan keadaan. Berperang dengan kondisi yang tidak sehat, mengatur pasukan dan memotivasi mereka untuk tetap konsisten dalam perjuangan dengan peralatan dan bekal yang minim? Sedangkan satu jenderal lainnya bertahan dalam kehidupan yang pas-pasan disaat kesempatan itu berseliweran didepannya. Menahan keluarganya untuk tidak tergiur dengan kesenangan semua itu, sungguh tidak mudah.

Beberapa waktu lalu saya membaca buku yang berjudul ”Mind Power for Our Time”, dan saya pun paham bagaimana kita bisa menjadi apa yang kita inginkan dengan mengatur pikiran kita sendiri. Pada saat kita mengunci pikiran kita bahwa kita adalah orang baik, maka alam semesta akan membantu kita menuju menjadi baik. Jika kita tidak mengunci pikiran kita bahwa kita adalah orang baik, maka kita tidak punya polisi yang mengingatkan saat peluang menjadi tidak baik itu muncul. Pikiran kita ibarat air hujan yang pelan pelan bisa melunakkan batu di alam semesta ini. Awalnya tidak mudah, namun seiring dengan berjalannya waktu kita sebagai orang luar sudah melihat ukiran batu yang indah dan terkadang hanya berkomentar ”orang itu kok idealis banget ya”.

Ketika membaca cerita dari dua jenderal diatas, memang keyakinannya untuk menjalankan tugasnya sudah mendarah daging. Tak heran jika mereka bisa melewati itu dengan baik. Kita tentu tidak hanya meneladaninya, tetapi seyogyanya bisa mereplika keteguhannya untuk kuat menjadi mereka yang seharusnya.

Saya tidak akan membahas panjang lebar tentang dunia tentara atau polisi. Saya akan mengkaitkan ini dengan dunia peneliti. Beberapa tahun telah mengalami sebuah metamorfosa yang terkadang menggerus keyakinan sebagai peneliti. Saya pernah mendengar ucapan dalam sebuah percakapan, sejujurnya ”bertahan menjadi peneliti saja sulit, apalagi bertahan menjadi peneliti yang berintegritas”.

bertahan menjadi peneliti saja sulit, apalagi bertahan menjadi peneliti yang berintegritas

Saya pun hampir setiap hari melakukan afirmasi bahwa saya akan menjadi peneliti yang berintegritas, disiplin dan produktif. Bukan tanpa alasan, karena kondisi saat ini sangat berbeda dengan dua atau tiga tahun sebelumnya. Pembebasan peneliti dengan dunia pikirnya dan pembebasan peneliti dengan suasana rutinitas kantor akan menjadi senjata makan tuan jika tidak memiliki strategi yang jitu.

Banyak berpendapat strategi itu adalah kolaborasi, menyatukan kekuatan individual sehingga mencapai tujuan bersama-sama. Tapi, kata kolaborasi terkadang menjadi kata pemanis dalam proses eksploitasi rekan setelah melakukan monopoli akses tertentu. Mereka menguasai akses ke sumberdaya peneliti dan menawarkan kelebihannya untuk tergabung dalam penulisan yang menjadi output penting sebagai peneliti. Peneliti yang benar-benar berjuang melakukan proses ide sejak awal, pengambilan data dan proses penulisan justru ditunggangi oleh mereka yang merasa berjasa karena tanpa aksesnya, penelitian tidak akan berjalan.

Situasi bertambah sulit ketika sumberdaya penelitian seperti data, anggaran diperebutkan dengan persaingan atau kompetisi. Padahal, pemilik dana atau anggaran tentu memiliki kriteria yang berbeda sesuai dengan tujuannya, tidak sepenuhnya karena pengembangan keilmuan.

Bagaimanapun sulitnya situasi tersebut, ingatlah bahwa kita (peneliti) tidak sampai harus bergerilya di dalam hutan dan sedang sakit. Situasi sulit akan menemukan jalan penyelesaiannya sendiri dan proses itu seperti proses penyepuhan. Jika kita adalah sebongkah emas, penyepuhan itu akan membuat kita semakin berkilau. Sebaliknya jika kita adalah karat, kita tidak akan bertahan lama.

Maka tidak ada cara lain selain tetap menjadi peneliti yang idealis, mempertahankan kualitas hasil penelitian dan berani mengatakan tidak jika jalannya penelitian melanggar kode etik atau tidak sesuai dengan standar keilmuan. Yakinkan bahwa ancaman tidak mendapat output dan akan dipecat sebagai fungsional peneliti tidak akan pernah terjadi jika kita tidak bermain-main di batas minimal ini. Maksud saya, jangan pernah merasa cukup jika kita sudah mensubmit satu paper untuk hasil minimal. Teruslah meneliti dan menulis karena itu adalah profesi. Penilaian dan penghargaan akan datang dengan cara yang lebih indah selain penghargaan formal yang diperebutkan ribuan peneliti.

 Saya pun sering melakukan afirmasi ke diri sendiri  bahwa saya akan menjadi peneliti yang berintegritas, disiplin dan produktif. Tulisan ini pun saya tidak tau ditujukan kepada siapa, saya tulis pada tanggal 31 Desember 2023 sebagai refleksi akhir tahun untuk lebih siap menghadapi tahun 2024. Saya sebagai manusia tidak tau apa yang akan terjadi besok dan seterusnya, tetapi saya yakin bahwa kita akan dipermudah Allah SWT sesuai pikiran kita. Jika kita berpikir susah, maka kita sudah mensetting pikiran kita bahwa kita tidak akan mudah melewati masalah. Bagaimana kita bisa melewati masalah diluar sedangkan kita belum selesai dengan tubuh (pikiraan) kita sendiri?

Semoga saya tidak sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *