Mengapa Indonesia perlu impor beras?

by

in

Beras adalah komoditas yang strategis. Sebagai salah satu komoditas pangan utama, ketersediaannya menjadi hal yang sangat penting karena berkaitan dengan keamanan nasional. Beras sangat terkait dengan ketahanan pangan yang berarti kemampuan suatu negara untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya. Suka atau tidak, beras sudah menjelama menjadi kebutuhan pokok karena pangan local perlahan tergusur oleh beras.

Judul artikel ini seolah olah memihak impor. Impor dalam konteks ketahanan pangan bukanlah sebuah aib. Sebab ketahanan pangan bisa diartikan memproduksi beras sendiri ataupun membeli beras dari negara lain atau impor. Namun, bukan itu permasalahannya. Saat terjadi impor yang tidak sedikit, maka dikhawatirkan terjadi kompetisi daya saing antara beras local dan beras impor. Ibarat sebuah angin yang tercipta akibat perbedaan tekanan, beras pun akan hadir akibat perbedaan harga. Dalam ilmu dagang yang sederhana, pedagang tentu tidak akan berniat membeli produk dan menjualnya kembali apabila tidak ada margin yang menguntungkan.

Kembali berbicara tentang daya saing atau perbedaan harga. Harga terbentuk dari struktur biaya dan kondisi Kesehatan keuangan sebuah negara. Biaya yang terbentuk dapat berasal dari biaya private, atau dibantu oleh pemerintah, dana sosial yang bersifat subsidi. Subsidi pun terbagi menjadi subsidi input dan subsidi output. Keduanya sangat berbeda. Jepang menerapkan subsidi output dengan membeli padi dari petani untuk memastikan petani tetap memproduksi padinya. Sementara Indonesia sejak lama menerapkan subsidi input berupa bantuan pupuk dan benih.

Pemilihan cara subsidi tersebut ternyata membawa perbedaan yang cukup signifikan terhadap daya saing sebuah komoditas. Komoditas yang memiliki produktivitas yang rendah memang lebih pantas dibantu dengan subsidi input untuk meningkatkan hasil. Namun, komoditas yang sudah memiliki produktivitas yang tinggi, sebaiknya diberikan subsidi output untuk menjamin keberlangsungan atau keberlanjutan usahanya dalam menghadapi ketidakpastian pasar.

Kriminalisasi terhadap impor

Impor dalam ekonomi tidak selamanya jahat. Impor memiliki fungsi untuk pengendalian harga. Keseimbangan penawaran dan permintaan perlu dijaga agar harga tetap stabil. Berbicara tentang penawaran dan permintaan, kita menghadapi dua mata uang yang berbeda. Sebagai negara yang mengaku agraris, kita perlu mensejahterakan petani dengan memberikan harga yang layak. Pada sisi yang lain negara menghadapi konsumen yang jumlahnya lebih banyak dan menuntut harga pangan yang murah. Secara ekonomi, tentu wajar terjadi kenaikan harga apabila terjadi gagal panen atau kelangkaan produk. Pada saat itulah impor berperan dalam menyeimbangkan harga.

Akan tetapi, impor sepertinya dikriminalisasi karena mindset yang telah terbentuk impor dapat mematikan keberlangsungan usaha petani. Mindset itu sepenuhnya benar jika dilakukan oleh pelaku impor yang tidak paham kapan harus impor dan berapa yang diimpor. Sebagai contoh real, kita sudah sulit membangkitkan produksi petani kedelai akibat gempuran impor yang tidak kunjung berhenti. Biaya produksi sudah tidak bisa lagi bersaing dengan harga jual. Petani kedelai berhadapan dengan pengusaha tempe yang sudah terorganisir dengan baik dan berkali kali telah mengurangi ketebalan tempe akibat kenaikan harga kedelai. Padahal, harga yang diterima oleh petani kedelai pun tidak bisa mencukupi biaya operasional.

Mindset buruk terhadap import tidak akan terjadi apabila import dilakukan oleh pihak yang tepat. Waktu yang tepat dan jumlah yang tepat. Jika ada selisih harga antara harga domestic dan harga luar negeri (asal beras) seharusnya menjadi penerimaan negara yang dikembalikan untuk mensejahterakan petani. Memastikan bahwa perbedaan harga tersebut tidak dimanfaatkan oleh segelintir orang. Sebagai gambaran jika terdapat selisih harga 1k perkg maka dalam 1 ribu ton, maka sudah ada 1 milyar hasil perbedaan harga tersebut. Namun, sekali lagi kembali ke hukum dagang. Jika tidak ada keuntungan atau keuntungan diambil sepenuhnya oleh pemerintah tentu tidak ada yang akan bergerak.

Swasembada (tidak) berkelanjutan

Swasembada adalah mimpi Indonesia yang sudah lama. Hingga kini, pencapaiannya masih tersendat karena kurang berkelanjutan. Swasembada pangan merupakan usaha ketahanan pangan dengan memproduksi sendiri tanpa mengimpor dari negara lain. Dalam konteks Kerjasama antar negara atau bilateral, tentu ini akan menjadi tawar menawar bagi Indonesia dengan negara lain. Dalam materi perdagangan internasional, kerjasama akan terjadi apabila kedua belah pihak mau bersepakat menerima komoditas dari negara lain. Lalu, jika Indonesia tidak mengizinkan komoditas pangan dari luar negeri, maka tentunya ada komoditas  atau produk lain menjadi penggantinya. Textile, minyak bumi, komoditas perkebunan, dan lain-lain.

Pada konteks pandemic covid-19, ketahanan pangan menjadi sangat penting karena masing masing negara kompak mengamankan cadangan pangan. Syukur, Indonesia berhasil melewati dengan baik karena basis perekonomian Indonesia masih mengandalkan pertanian. Separah-parahnya terkena imbas akibat terisolasi dari negara lain, Indonesia masih punya beras dan bahan makanan untuk bertahan hidup.

Meskipun begitu, kita perlu memahami tentang karakteristik pertanian yang kita miliki. Secara agregat Indonesia memang memiliki kemampuan swasembada dalam waktu satu tahun penuh. Namun, pada bulan – bulan tertentu ketersediaan pasokan beras tentu akan berfluktuasi. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan musim hujan dan musim kemarau. Pada saat panen raya, seharusnya tidak perlu terlalu semangat untuk mengekspor hasil pertanian ke negara tetangga hanya untuk mengklaim Indonesia sudah bisa ekspor beras, mengingat kita perlu stok di saat panen menurun atau musim yang tidak mendukung. Lebihan cadangan itu seharusnya diatur untuk memenuhi kebutuhan pada kondisi neraca beras sedang minus.

Target luas tanam versus kebutuhan masyarakat

Sebagai seorang data analyst, memproyeksikan kebutuhan beras di kalangan masyarakat tidaklah sulit. Berbagai survey telah dilakukan untuk mengetahui tingkat konsumsi masyarakat pada tingkat nasional, provinsi, bahkan kabupaten. Pertumbuhan penduduk pun telah diproyeksikan dengan baik oleh Lembaga statistic nasional.

Pada sisi yang lain, perkembangan luas tanam juga dapat diketahui dengan adanya laporan luas tanam oleh pemerintah daerah. Luas tanam tersebut dapat dianalisis untuk menggambarkan prediksi panen dengan informasi produktivitas yang biasa diperoleh. Hasil proyeksi ini seharusnya mampu menghitung persentase konsumsi beras yang dapat dipenuhi pada periode panen mendatang. Jika terjadi kekurangan, maka perlu dipikirkan apakah mendatangkan beras dari provinsi yang lain, ataukah mendatangkan beras dari negara lain.

Perhitungan diatas kertas tersebut sangatlah sulit dilakukan mengingat banyak kepentingan dan banyak pelaku usaha yang terlibat. Beras merupakan salah satu komoditas yang bersaing sempurna dan inelastic sehingga penguasaan terhadap stok yang tinggi dapat mempengaruhi harga pasar. Meskipun demikian, pemrintah tetap dapat memantau luas produksi padi nbahkan dengan teknologi satelit. Sebanyak apapun pelaku dalam tata niaga beras, jika perhitungan luas tanam tepat memproyeksikan panen, kondisi kelangkaan beras hanya terjadi akibat penyimpanan beras yang tidak wajar. Permasalahan sekarang, apakah evaluasi ini sudah dilakukan secara akurat?

Import menjaga tata niaga

Sebagai pihak yang menengahi antara produsen dan konsumen, pemerintah perlu melakukan kebijakan yang tidka merugikan kedua belah pihak. Jika terjadi penurunan harga, harga tersebut jangan sampai merugikan petani sehingga tidak melanjutkan usahanya atau beralih ke komoditas horti yang lebih menguntungkan. Jika terjadi kenaikan harga, harga tersebut tidak menyebabkan inflasi yang menyebabkan turunnya daya beli masyarakat.

Impor yang dilakukan yang benar, akan menyelamatkan tata niaga beras. Pada saat terjadi penimbunan barang karena ingin menaikkan harga oleh pelaku yang tidak bertanggung jawab. Kehadiran impor akan mengacaukan rencana jahat tersebut. Pada konteks ini, impor benar benar dilakukan sebagai penyelamat ekonomi. Tidak perlu repot mengetahui siapa pelaku penimbun beras. Harga yang stabil, tentu tidak akan menguntungkan bagi pelaku tersebut. Sebanyak apapun dia menguasai stok beras, stok akan tetap ada. Ketika dia mengeluarkan stok yang banyak secara tiba tiba dengan harapan terjadi penurunan harga untuk mematikan pengusaha lain, impor distop dan pemerintah tetap membeli beras langsung kepada petani melalui subsidi output sebagai cadangan pangan. Ini dilakukan sebagai penggantian atas keuntungan impor yang telah disimpan oleh pemerintah selama mengimpor beras.

Lalu, mengapa subsidi output sulit dilakukan?

Terima kasih.

Disclaimer: tulisan ini hanya opini dan buah pikiran semata, ditulis saat final piala dunia 2022. Disadur dari artikel jurnal berjudul :

  1. Daya Saing Bawang Merah di Provinsi Maluku dan Upaya Peningkatannya
  2. Rice Balance Simulation in Order To Support Sustainable Rice Self-Sufficiency Program in North Sumatera

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *