Etika Periset Vs Etika Pejabat

Sebenarnya agak kurang pas saya menulis tentang etika pejabat karena hingga saat ini saya belum menjabat, khususnya jabatan struktural. Tapi saya mengingat, memantau, dan merasakan bagaimana berhadapan dengan mereka. Belum hilang dalam ingatan memori tentang bagaimana proses peleburan peneliti dalam satu wadah yang bernama BRIN. Betul, saat itu banyak peneliti yang berhadapan dengan pejabat terutama pejabat yang tidak menginginkan peleburan tersebut.

Saat saya menulis artikel ini, terjadi lagi berita yang kurang mengenakkan tentang peneliti atau periset versus pejabat. Berita yang beredar (media elektronik nasional), mengungkapkan bahwa ratusan periset terkena hukuman karena mereka mempublikasikan karya tulis yang menyangkut tentang kelestarian hutan. Tidak hanya itu, beberapa orang menekan penulis untuk mencabut artikel yang sudah publish. Mungkin saja saat anda membaca tulisan ini, artikel itu sudah tidak ada. Saya punya salinannya disini, karena sifatnya open access:

Berita yang beredar menyatakan bahwa jumlah penulis yang melebihi 100 orang itulah yang menyebabkan mereka hanya memperoleh tunjangan kinerja sekitar 80 hingga 90 persen saja selama satu tahun.

Jika berbicara tentang periset, terdapat idealis yang mengikat mereka dalam sumpah jabatan. Periset mengutamakan keilmuan dalam berpikir dan bertindak. Output dari tindakan dan berpikir tersebut akan terus berkembang seperti terjadinya perkembangan ilmu saat ini. Mereka mengungkapkan kebenaran hakiki, sesuatu kebenaran yang tidak akan terbantahkan meskipun zaman telah berganti. Kebenaran hakiki mengharuskan mereka tidak boleh melakukan kebohongan. Karena kebenaran itu sendiri yang akan membuka atau membuktikan siapa periset yang berbohong.

Etika Periset

Secara teknis, etika periset atau peneliti berisikan tentang integritas baik dalam proses penyusunan ide, penyusunan proposal dan instrumen, pengolahan data, dan penyusunan karya tulis ilmiah. Etika pada saat penyusunan ide, periset memastikan idenya merupakan ide yang orisinil, memeriksa apakah ide bersinggungan dengan penelitian orang lain. Periset harus mengakui bahwa idenya merupakan replikasi atau pengembangan dari ide orang lain.

Periset memastikan bahwa mereka memenuhi persyaratan etika membuat proposal. Mereka memerlukan beberapa pernyataan dan perjanjian kepada responden jika berhubungan dengan manusia dan hewan. Periset biasa menyebutnya sebagai klirens etik. Pada tahap ini, periset memastikan bahwa informasi responden baik yang bersifat personal maupun substantif penelitian, terjaga kerahasiaannya.

Proses etik tidak hanya berhenti di tahap pengumpulan data. Selama pengolahan data, kejujuran menjadi point penting dalam menghasilkan kualitas output tulisan. Beberapa hal yang dapat menjadi indikator keraguan kualitas sebuah artikel adalah:

  1. artikel tidak membahas secara detil metode penelitian.
  2. penulis tidak membahas sebaran nilai secara menyeluruh, tetapi hanya bagian “tertentu” yang ingin dibahas tanpa menggunakan ruang lingkup.
  3. tulisan berbentuk essay, tanpa menampilkan hasil pengolahan data (data deskriptif) tapi tidak menceritakan metode sampling/populasi dengan benar.
  4. model terlalu baik untuk nilai sosial (goodness of fit terlalu tinggi berindikasi peneliti melakukan resampling terhadap data yang ditetapkan).
  5. narasi terlalu memihak pihak tertentu mengurangi objektivitas (periksa perolehan dana-nya).

Point-point tersebut hanya beberapa dari kriteria keberhasilan periset dalam pengolahan data. Faktor latar belakang, faktor kondisi ekonomi, kondisi politik, terutama afiliasi juga sedikit banyak memengaruhi kemampuan penulis.

Ketika periset sudah melakukan itu dengan benar, mereka pun menyajikan hasil dalam bentuk karya tulis ilmiah. Beberapa etika dalam penulisan karya ilmiah adalah fabrikasi, plagiarisme, falsifikasi, . Semua etika tersebut memastikan periset melakukan tugasnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Periset mampu meletakkan perannya sebagai salah satu puzzle ilmu pengetahuan.

Etika pejabat

Saya pernah mendengar bahwa pejabat boleh berbohong, tetapi tidak boleh salah. Slogan ini berkebalikan dengan slogan periset bahwa periset tidak boleh berbohong, tetapi tidak boleh salah.

Pejabat boleh berbohong, tetapi tidak boleh salah

Konteks pejabat boleh berbohong adalah pejabat memiliki banyak kepentingan atau bahkan kepentingan publik. Pejabat bisa berbohong untuk kelompok tertentu dan kebohongan ini diharapkan memiliki arti di masa mendatang bahwa “saya sedang merencanakan sesuatu, tetapi saya tidak bisa menceritakannya sekarang”. Karena terdapat beberapa konsekuensi atau hambatan jika pejabat secara terbuka mengemukakan strateginya sejak awal.

Namun, pilihan strateginya tidak boleh salah. Jika pejabat salah memilih strategi, perlu waktu yang lama untuk menyelesaikan masalah yang timbul karena kesalahannya. Bahkan, terkadang memperbaiki kesalahan strateginya membutuhkan waktu yang lebih lama ketimbang periode penerapan strategi yang salah. Sebagai contoh: Kita akan sulit mengembalikan kondisi hutan (butuh waktu yang sangat lama), padahal periode kita saat menebangi hutan sangat singkat (pada saat kesalahan strategi). Ini hanya contoh/ilustrasi, tidak berhubungan benar atau salah.

Karena pejabat tidak boleh salah, maka pejabat perlu banyak pertimbangan, salah satunya menghadirkan periset untuk menjelaskan beberapa alternatif kebijakan. Periset yang memiliki integritas tidak boleh berbohong, akan menampilkan data dan analisis apa adanya. Pejabat dengan kekuasaannya dapat menggunakan rekomendasi periset atau tidak, bergantung kepada sudut pandang pejabat dan kebutuhan. Tentunya, jika pejabat memilih untuk tidak mengambil opsi periset, ilmu pengetahuan tetap akan bergerak sebagaimana mestinya.

Kondisi ini menimbulkan dua kemungkinan: (1) kebijakan searah dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan (2) kebijakan tidak searah dengan ilmu pengetahuan. Namun beberapa bukti telah mengemukakan bahwa kebijakan tanpa searah ilmu pengetahuan akan bergerak lambat dibanding kebijakan yang seiring dengan ilmu pengetahuan. Salah satu bukti yang nyata adalah Tiongkok yang dulu dianggap sebagai negara peniru, saat ini menjadi pemimpin dunia dalam hal ekonomi. Justru produk hasil tiruannya saat ini berhasil mengalahkan pioneer-nya karena lebih efisien. Mereka mengecap Tiongkok sebagai peniru, padahal Tiongkok sedang melakukan inovasi.

Penutup

Kita kembali ke topik di paragraf pertama. Mengapa ada intervensi untuk mencabut artikel yang sudah publish? Tentu kita ingat perbedaan pandangan seperti penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif memiliki sejarah yang panjang. Mereka tidak pernah meminta lawan pemikirannya untuk menghilangkan hasil di sebuah publikasi. Namun mereka terus menggali kelebihan dari sistem yang mereka anggap lebih baik. Jika pencabutan itu benar benar terjadi, tentu ini akan mencoreng wajah penelitian di Indonesia karena tidak semua akan paham mengapa itu terjadi, meskipun mungkin saja dasar dan pertimbangannya pasti sudah jelas. Saya tidak memperpanjang lagi penutup ini, karena kuatir keliru. Semoga saya membaca artikel ini 10 atau 20 tahun kedepan dan bisa mengingatkan kembali.

Selamat Belajar!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *