Indikator penting dalam Policy Analysis matrix

Policy analysis matrix atau biasa disingkat PAM adalah matrik analisis kebijakan pemerintah dalam intervensinya pada sebuah komoditas. Dalam sektor pertanian, tidak mengherankan apabila pemerintah menginginkan kedaulatan pangan. Salah satunya adalah upaya memenuhi produk dalam negeri dengan melakukan pengembangan dan perluasan area tanam. Perluasan area tanam pun diikuti dengan paket yang lain seperti membuat sarana prasarana pendukung, pupuk, benih, teknologi, tenaga kerja, modal, dan lain – lain.

Namun, upaya suatu pemerintah dalam mengembangkan sebuah komoditas pertanian tentu harus bersaing dengan komoditas yang sama dari daerah lain. Contoh mudahnya adalah persaingan antara produksi beras nasional dengan negara – negara penghasil beras lainnya di Asia Tenggara. Persaingan ini dalam bentuk struktur dan efisiensi biaya sehingga terjadi perbedaan harga pokok produksi yang menimbulkan adanya selisih antara harga jual dari komoditas tersebut. Kemudian pasar yang menentukan mana yang akan memenangkan market share terbanyak dari keseluruhan permintaan.

Seandainya produk dalam negeri kalah bersaing, artinya HPP lebih tinggi dibandingkan produk luar, maka konsumen akan berbondong – bondong meninggalkan komoditas dalam negeri. Hal ini akan mempengaruhi perputaran uang dan bisnis, sehingga banyak uang (dollar) mengalir keluar sehingga pertumbuhan ekonomi akan menurun. Jadi tidaklah heran mengapa ada proteksi perdagangan karena pemerintah menginginkan konsumen dalam negeri membeli produk dalam negeri yang kemudian meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya karena perputaran uang masih dalam lingkup dalam negeri.

policy analysis matrix

Berbicara tentang komoditas luar dan dalam sebenarnya tidak hanya membicarakan dalam dan luar negeri. Perbedaan antar provinsi dan pulau pun dapat kita gunakan dalam deskripsi tersebut. Hal ini dikarenakan negara Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga ada barrier dalam proses penyebaran produk yang menyebabkan tingginya harga transportasi. Pada akhir ini kita mendengar adanya upaya pengembangan hortikultura dan tanaman pangan di wilayah timur indonesia. Padahal selama ini konsumsi hortikultura dipasok dari Pulau Jawa. Tentu ini merupakan tantangan tersendiri mengingat pemerintah daerah harus berupaya mengembangkan komoditasnya dan bersaing dengan komoditas dari jawa yang sudah menggunakan teknologi, pengalaman yang tinggi, dan tentunya efisien dalam budidayanya. Tantangan terbesar dalam pengembangan ini adalah pemerintah daerah tentu tidak bisa menerapkan pajak masuk bagi komoditas dari Pulau Jawa mengingat Pulau Jawa masih dalam satu kesatuan Republik Indonesia. Sehingga tidak mengherankan jika mendengar keluhan petani saat musim panen tiba karena harga jual tidak sesuai harapan.

Indikator indikator yang digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas terhadap komoditas yang sama dari luar wilayah dihitung dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Sebenarnya PAM juga mengambil informasi yang sama dengan analisis usahatani, yakni penerimaan, biaya dan pendapatan. Komponen faktor produksinya pun tidak berbeda, yakni tenaga kerja, pemupukan, benih, lahan biaya modal. Namun dalam PAM ada istilah harga privat dan harga sosial, dan PAM seolah menghitung usahatani dengan kedua harga tersebut. Harga privat adalah harga yang diterima petani secara langsung. Sedangkan harga sosial adalah harga sebenarnya yang diberlakukan di luar campur tangan kebijakan pemerintah. Jadi misalnya harga pupuk yang diterima petani adalah Rp. 5000 perkg, bisa jadi harga sosialnya adalah Rp. 15.000 perkg karena pemerintah memberi subsidi sebesar Rp. 10.000 perkg.

Selisih dari analisis usahatani tersebut menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah mengintervensi pengembangan komoditas. Adapun cara perolehan indikator dan perhitungan PAM sudah saya jelasakan pada artikel sebelumnya yang berjudul : pengantar policy analysis matriks. Berikut merupakan penjelasan indikator di dalam PAM

Nominal Protection Coefficient on Output

Indikator ini biasa disingkat dengan NPCO yang merupakan rasio harga pasar domestik sebuah produk dengan harga paritasnya. Yang dimaksud dengan harga paritas adalah harga sosial komoditas tersebut jika didatangkan dari luar daerah. Biasanya harga paritas berisi harga pokok ditambah harga distribusi, baik biaya bongkar kapal, asuransi, dan angkutan dari pelabuhan menuju pasar. Jika nilai NPCO sama dengan 1, maka memiliki arti bahwa tidak ada intervensi pemerintah dalam kebijakan harga. Artinya barang dari luar bebas masuk tanpa hambatan.

Jika nilainya lebih kecil dibanding 1, artinya harga sosial akan lebih tinggi dibandingkan harga privat. Hal ini menandakan bahwa ada intervensi atau proteksi pemerintah untuk melakukan pengembangan komoditas. Biasanya proteksi dilakukan dalam bentuk bea impor sehingga biaya per satuan komoditas yang didatangkan dari luar akan jauh lebih mahal dibandingkan komoditas dalam daerah.

Sebaliknya, jika NPCO lebih besar dari 1, menandakan bahwa harga privat akan lebih mahal dibandingkan harga sosial. Hal ini menandakan adanya intervensi pemerintah terhadap komoditas dalam negeri berupa pajak yang dikenakan kepada produsen. Hal ini dapat dipahami apabila pemerintah melakukan kebijakan dumping dalam perdagangan. Menjual di luar negri lebih murah dibandingkan menjual dalam negeri. Komoditas pertanian sepertinya tidak mengalami kebijakan seperti ini.

Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI)

Berbeda dengan NPCO, NPCI berbicara tentang tradable input. Tradable input adalah input atau faktor produksi yang didatangkan dari luar daerah, misalnya pupuk, benih, tenaga kerja (apabila impor). Penjelasan nilai NPCI hampir sama dengan NPCO. Jika bernilai 1 berarti bebas intervensi, jika bernilai kurang dari satu berarti pemerintah mengenakan pajak dari barang yang dari luar. Sebaliknya jika bernilai diatas 1 artinya harga privat lebih tinggi dibandingkan harga sosialmya.

Pada kasus yang umum di Indonesia, biasanya pemerintah melakukan kebijakan subsidi input. Kebijakan tersebut akan tersermin dalam NPCI  yang bernilai dibawah 1 karena harga privat yang diterima petani jauh lebih murah dibandingkan harga sosialnya.

Effective Protection Coefficient (EPC)

Merupakan rasio antara selisih pendapatan dan biaya tradable input dalam harga privat dengan selisih antara pendapatan dan biaya tradabel input dalam harga sosial. Tujuan indikator ini untuk menggabungkan antara NPCI dan NPCO yang bersifat parsial saja. Jika nilai EPC lebih dari satu, artinya bahwa pendapatan – biaya tradable di harga privat lebih tinggi dibandingkan pendapatan – biaya tradable di harga sosial, maka berarti kebijakan pemerintah meningkatkan insentiv petani.

Sebaliknya jika bernilai kurang dari 1, artinya bahwa pendapatan – biaya tradable di harga  sosial lebih tinggi dibandingkan pendapatan privatnya. Artinya kebijakan pemerintah justru mengurangi insentiv petani. Sebagai contoh jika pemerintah menerapkan pajak, maka nilai EPC kemungkinan bernilai kurang dari 1.

Profitability Coefficient (PC)

PC merupakan perbandingan antara keuntungan privat dengan keuntungan sosialnya. Kegunaan indikator ini adalah untuk mengetahui apakah kebijakan pemerintah secara menyeluruh menguntungkan petani atau tidak. Jika indikator dlebih besar dari satu maka keuntungan privat lebih besar dibandingkan keuntungan sosial. Hal ini menandakan bahwa kebijakan pemerintah tersebut meningkatkan insentif petani.

Lalu apa bedanya dengan EPC?

EPC hanya menghitung pada tingkat pendapatan dikurangi biaya tradable input ditingkat harga privat dan sosialnya, sedangkan PC sudah menghitung keuntungan yang diperoleh dari pendapatan dikurangi biaya tradable input dan biaya domestic.

Mengapa perlu indikator yang terpisah?

EPC lebih menekankan keefektifan dalam upaya proteksi atau subsidi tradable input, sedangkan PC menghitung profit secara keseluruhan. Biasanya dalam keunggulan komparataif dan kompetitif, faktor yang dominan adalah harga komoditas baik secara privat maupun sosial, dan faktor tradabel inputnya. Sehingga perlu indikator khusus untuk menjelaskan apakah kebijakan pemerintah dalam proteksi dan subsidi di kedua bidang ini sudah baik atau belum.

Private Cost Ratio (PCR)

PCR meruupakan rasio antara biaya domestik dengan selisih antara pendapatan dan biaya tradable input di tingkat harga privat. Indikator ini berusaha untuk menunjukkan proporsi biaya domestik yang digunakan untuk komoditas. Pengeluaran atau peningkatan biaya domestik diharapkan diiringi dengan pendapatan privat, sehingga diharapkan pada indikator ini semakin kecil semakin baik. Semakin besar nilai indikator PCR berarti komoditas tersebut tidak memiliki daya saing karena tingginya biaya domestic tidak diikuti oleh pendapatan.

Domestic Cost Ratio (DCR)

Jika PCR dihitung dalam harga privat, maka DCR dihitung dalam harga sosialnya. Indikator ini yang biasa disebut sebagai daya saing secara komparatif. Selain penjelasan nilainya sama dengan PCR diatas, jika nilai DCR atau PCR sama dengan satu berarti secara komparatif dan kompetitif penambahan biaya domestic sama dengan penambahan keuntungan. Atau, keuntungan yang diperoleh hanya mampu menutupi biaya domestic yang dibebankan (impas).

Mengapa indikator ini penting? Karena pada umumnya petani menggaji dirinya sendiri dalam faktor domestik, seperti tenaga kerja, modal dan sewa lahan. Jadi jika nilai DRC atau PRC sama dengan satu artinya usahatani komoditas tersebut hanya mampu membayar tenaga kerja dari keluarga, sewa lahannya, dan bunga modal yang dikeluarkannya. Sehingga jika dilihat sebagai usahatani yang utuh, tidak menguntungkan secara ekonomi dan bisnis atau tidak berdaya saing.

Terlebih lagi jika DRC atau PRC lebih dari 1. Maka secara ekonomi justru pendapatan tidak mampu membayar biaya faktor domestiknya.

Subsidy Ratio to Producer (SRP)

SRP menghitung keseluruhan efek transfer dari kebijakan pemerintah terhadap pendapatan sosial. Indikator ini diperoleh dengan membandingkan antara selisih keuntungan dari sosial ke privatnya dengan pendapatan sosial. Jika SRP bernilai negatif, berarti pendapatan sosial lebih tinggi dibandingkan pendapatan privat, sehingga dikatakan kebijakan pemerintah justru mengurangi insentiv petani.

Semakin besar nilai mutlak dari SRP maka menjelaskan bahwa tambahan pendapatan sosialnya akan berdampak kepada divergensi keuntungan semakin besar. SRP ini akan bagus jika menggunakan pembanding dengan dua komoditas atau lebih. Karena menunjukkan elastisitas terhadap kebijakan pemerintah yang akan dilakukan. jika rasio SRP besar artinya elastis terhadap perubahan harga sosial, sehingga akan tetap efektif jika pemerintah melakukan proteksi perdagangan. Sebaliknya jika SRP kecil atau tidak elastis, maka kebijakan pemerintah dalam proteksi perdagangan akan menyebabkan distrorsi keuntungan privat dan sosialnya sedikit.

Demikianlah catatan tentang indikator penting yang digunakan dalam analisis kebijakan komoditas.

Selamat Belajar.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *